Pasok Tersendat, Pertumbuhan Rumah Melambat

Tahun 2009 merupakan tahun yang berat bagi pasar perumahan. Krisis keuangan global yang mempengaruhi kondisi makro ekonomi Indonesia, dan ketatnya likuiditas perbankan menyebabkan pengembang kesulitan memperoleh kredit konstruksi. Selain itu, perbankan juga sangat berhati-hati mengucurkan  kredit KPR sehingga banyak pengajuan proposal KPR yang tidak disetujui. Suku bunga KPR yang tinggi juga melemahkan daya beli konsumen. Akibatnya, mereka memilih opsi menunda pembelian rumah hingga suku bunga normal kembali. Serupa dengan perilaku konsumen yang tidak sensitif terhadap kenaikan suku bunga. Mereka menahan diri untuk tidak berinvestasi, mengambil sikap wait and see terhadap perkembangan krisis.

Sejatinya, situasi kurang kondusif ini sudah terjadi sejak pertengahan 2008 silam. Ditandai dengan suku bunga yang merangkak naik dan sikap perbankan yang ‘self-protectived’. Jelas, kondisi ini merugikan para pelaku bisnis dan industri perumahan. Betapa tidak, mereka mengalami kesulitan untuk berekspansi. Sehingga sepanjang tahun 2009 ini, pengembang hanya berkonsentrasi membangun rumah tambahan di cluster yang sudah dikembangkan dan menahan diri untuk mengembangkan cluster dan portofolio baru.

Kemampuan membangun pengembang dapat dilihat dari grafik di atas. Dari 45 perumahan di wilayah Jabodetabek yang dijadikan sampel oleh Coldwell Banker Indonesia dengan luas lahan mencapai 11.385 ha, sepanjang tahun 2009 relatif tidak ada yang menyediakan rumah stok. Mereka hanya memasarkan rumah dengan sistem inden dalam  jangka waktu berkisar antara 12-18 bulan.

Secara kumulatif, sampai kuartal ketiga 2009, jumlah rumah yang telah dibangun tercatat 3.638 unit atau hanya 79,75% dibandingkan jumlah rumah terjual yang mencapai 4.562 unit. Sementara kuartal ketiga 2008, rumah yang dibangun sebanyak 15.472 unit. Lebih tinggi 143,05% terhadap kumulatif rumah terjual yang mencapai 10.816 unit.

Berbeda dengan kondisi kuartal pertama dan kedua 2008. Pada saat itu, pengembang berani menyediakan rumah stok. Prestasi penjualan pun menggembirakan, proporsi rumah stok terjual mencapai 198,8% pada kuartal pertama dan 126,3%  (kuartal kedua).

Dengan sistem pemasaran inden ini pengembang dapat menjaga cash flow perusahaan di tengah kredit konstruksi yang sulit diperoleh dan penjualan yang menurun. Sistem pemasaran ini juga memungkinkan pengembang dapat mengandalkan uang muka dari konsumen untuk biaya membangun.

Bagaimana dengan permintaan dan penyerapan? Menurut riset Coldwell Banker Indonesia, penjualan rumah pada kuartal ketiga tahun ini hanya mencapai 879 unit, turun sebesar -71,55% dari periode yang sama tahun lalu yang membukukan 3.090 unit. Angka lebih rendah bila dihitung secara kumulatif. Hanya 4.562 unit terjual, turun -57,82% dibandingkan kuartal ketiga 2008 yang mencapai 10.816 unit.

Turunnya penjualan ini terjadi hampir di semua segmen pasar. Terparah adalah segmen pasar rumah sederhana, mencapai -62,2%. Disusul segmen pasar menengah yang anjlok -56,0%. Ketergantungan terhadap fasilitas pembiayaan melalui KPR merupakan penyebab utama penurunan penjualan di kedua segmen ini. Sementara untuk kelas atas yang tidak dipengaruhi oleh perubahan suku bunga KPR hanya mengalami penurunan -37,7%.

Namun demikian, di tengah situasi yang tidak menguntungkan itu, para pengembang justru lebih kreatif. Agar penjualannya tidak vakum, mereka menerapkan beberapa siasat. Seperti memberi subsidi bunga kepada konsumen. Skemanya, mereka menanggung 2-3% sehingga suku bunga KPR yang dibebankan ke konsumen lebih rendah.

Atau besaran uang muka mereka turunkan, dari angka normal 30% menjadi hanya 20% bahkan ada yang menawarkan 10% dari total harga rumah. Selain itu, juga memberlakukan kemudahan dalam pembayaran cicilan rumah, dengan cicilan bertahap berjumlah tetap dalam jangka waktu tertentu dan tanpa uang muka.

Dengan kondisi penjualan yang rendah ini, pengembang menahan kenaikan harga rumah atau hanya melakukan penyesuaian harga dengan kenaikan yang kecil. Peningkatan harga tahun ini jauh lebih rendah dari tahun lalu, hanya 7,22%. Sementara tahun 2008 tercatat 14,59%. Ini berarti hanya mencapai setengahnya atau turun -50,51%.

2010

Bergerak Kembali

Seiring dengan penurunan suku bunga KPR yang dimulai sejak kuartal II 2009 dan diperkirakan terus berlanjut hingga 2010, pasar perumahan diprediksikan akan tumbuh kembali. Bank mulai menawarkan kerjasama dengan pengembang berupa program KPR dengan suku bunga khusus. Ini sekaligus sinyalemen bahwa mereka mulai membuka keran kreditnya lebih lebar. Dengan kondisi ini, permintaan pasar akan meningkat dan pengembang akan bergairah kembali dalam membangun dan memasarkan proyeknya.

2 Tanggapan

  1. “Kemampuan membangun pengembang dapat dilihat dari grafik di atas. Dari 45 perumahan di wilayah Jabodetabek….”

    Grafiknya dimana mba?

Tinggalkan Balasan ke hildalexander Batalkan balasan