Ironi Di Tepi Jagorawi

Saya sejatinya telah bersumpah untuk tidak mengeluarkan sumpah serapah. Namun, apa hendak dikata, ketika malam minggu yang lalu, saya justru menyumpahserapahi orang-orang yang tidak saya akrabi. Saya dihadapkan pada dua buah peristiwa yang paradoksal. Peristiwa yang pertama, hajatan budaya pada sebuah venue dengan nama perkasa, Puri Begawan. Lokasinya di Jl Pajajaran. Di sini terjadi atraksi dan eksebisi kesenian tradisional Sunda yang hendak ‘direvitalisasi’ oleh sesepuhnya untuk terus mentradisi hingga generasi di bawahnya. Lengkap dengan sambutan-sambutan ala pergelaran pentas 17 agustusan, hidangan lezat aneka rupa plus, seonggok kenikmatan dalam ruangan berpendingin udara.

Di venue pertama ini, Dhiani Budiarto, Sang Walikota, bercengkerama sejahtera dengan undangan istimewa. Terlihat ada mantan pebulutangkis nasional, Icuk Sugiarto, entah apa kaitan dia dengan kesenian Sunda ini, ada pula tokoh lain dalam jajaran muspida. Katakanlah Kapolres, Kapolresta, Kapolwil, serta Dandim, Danramil dan komandan-komandan birokrat lainnya. Selain, tentu saja artis-artis yang belum cukup ternama yang meramaikan hajatan kota.

Mereka dilayani bak raja-raja jaman Prabu Siliwangi masih bersinggasana. Kudapan, minuman, dan jentikan pewangi silih berganti, tak berhenti hingga acara terakhir, menyambangi meja undangan VIP. Usai makanan pembuka, sup lezat yang seketika menghangatkan suasana, para undangan dijejali main course berupa masakan Sunda yang niscaya hanya bisa didapat dengan banyak usaha dan juga do’a. apa saja? gurame asam manis, timlo, pesmol, beef terayaki, chicken sausage mexican dan rentetan kuliner bernilai gizi tiada tara. By the way, gurame di pasar modern mencapai 25 ribu rupiah per kilogram.

Para undangan VIP yang dengan posisinya, dan demi mempertahankan kehormatannya, hanya sedikit mencicipi masakan lezat nan mewah itu, selebihnya, diangkut kembali oleh para abdi ke dapur Puri. Entah diapakan makanan sebanyak tadi.

Pun pada meja lainnya, menepi di belakang, terdapat serombongan pengusaha yang juga berlaku serupa. Tidak bernafsu, atau memang tengah menjalani diet ketat, hingga makanan yang sama juga banyak bersisa. Kembali para abdi ‘menyingkirkan’nya hilang dari pandangan para pengusaha.

Hajatan kelar hingga larut malam. Saya berjalan meninggalkan Puri Begawan dengan perut kenyang, alhamdulillah masih bisa menikmati rezeki, pikiran melayang dan langkah sedikit tertahan. Mungkin karena bobot tubuh bertambah setengah kilogram…..

Namun, bukan itu yang membuat langkah saya agak terseret. Melainkan, pemandangan musykil yang mustahal ada di peradaban modern seperti saat ini. Pada venue kedua, seorang ibu, menggendong anaknya tengah menjilati daun pisang. Ya mereka berdua ‘beraksi’ di tepi Jagorawi, tepat setelah perempatan lampu merah sebelah kiri. Di kawasan benderang bernama Terminal Baranang Siang.

Saya masih meyakini, bahwa ibu yang berkerudung itu tengah menikmati sate padang yang dijajakan di pinggir jalan. Terlihat dari daun pisang yang di’tampah’nya. Sejurus kemudian, ibu itu beranjak ke sebelah dalam Jl Bina Marga, dekat kumpulan plastik dan botol-botol bekas ia kemudian menyibak lekat. Setelah menemukan apa yang dia cari, botol aqua yang telah berisi setengahnya, ia kemudian meneguknya. Kendati malam itu hanya berpijar neon dari PJU-PJU jalan, saya dapat merasakan betapa ibu itu sangat menghargai apa yang ditemukannya.

Pandangan saya seketika tersedak. Mengapa para undangan tak menikmati hidangan di Puri Begawan. Sementara si ibu ‘gelandangan’ justru terjauh dari ‘kenikmatan’? Mengapa para undangan menyisakan banyak makanan, sementara si ibu ‘gelandangan’ justru mengonsumsi sisa makanan?

Saya tak sanggup menyaksikan pemandangan ironi itu lebih lanjut. Dalam sebuah angkot, saya hanya bersumpah serapah dalam hati, “Engkau tidak pantas mencalonkan diri menjadi walikota kedua kali. Dan kota ini tidak pantas menerima bakti para ambtenar yang mengaku berbakti dan melayani laiknya seorang abdi”